"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang" (Q.S. Maryam 19:96)
Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada isteri Rasulullah, Aisyah,"Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?" Aisyah menjawab, "Beliau biasa di dalam tugas sehari-hari keluarganya, yakni melayani keluarganya. Maka apabila telah tiba waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikan shalat."
Dialog antara al Aswad dengan Aisyah yang terangkup dalam hadits Bukhari itu benar-benar meresap dalam telinga saya. Setelah dua tahun menikah, saya berupaya menerapkannya. Di tengah keluarga, kegiatan sehari-hari seperti membersihkan rumah, berbelanja ke pasar hingga memasaknya, adalah hal yang biasa saya lakukan bersama isteri. Bila saya meracik bumbu-bumbu, maka isteri saya yang menggorengnya. Demikianlah, kegiatan itu seakan menjadi kebiasaan, tanpa perlu jadwal dan komando dari masing-masing pihak.
Malukah saya dengan lingkungan saya, yang masih menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga menjadi tugas isteri? Saya rasa tidak. Bila Rasulullah saw yang saya junjung tinggi saja menjahit pakaiannya , memerah susu kambingnya dan melayani dirinya, kenapa saya tidak?
Meneladani kehidupan Rasulullah, menurut saya tidak hanya sebatas pada perkara-perkara di luar rumah, yang orang banyak bisa menyaksikannya. Namun perlu juga menelasdani kehidupan beliau di dalam rumah tangganya, yang cukup diketahui oleh isteri, anak, dan kerabat-kerabat dekat kita.
Selama ini, kita seolah-olah telah dibatasi pada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki harus mengurusi persoalan publik, sedangkan wanita harus ditugasi membereskan persoalan domestik. Kita, kaum lelaki, selalu minta dilayani, tanpa mau gantian untuk melayani.
Sebagai pasangan perkawinan yang masih tergolong muda, saya selalu berupaya mencari bentuk rumah tangga yang ideal yang pernah dibangun oleh para pasangan sebelumnya. Saya merasa belum menemukan profil keluarga yang menjadikan al Quran dan as Sunnah sebagai poros kehidupan mereka. Hingga suatu ketika, isteri saya yang hobi menulis ini mengajak saya pergi ke toko buku. Lalu dia beli dua buku biografi ALi bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra. Dari situlah saya temukan profil keluarga ideal yang saya inginkan.
Sebagaimana Nabi, Ali pun membantu isterinya dalam membereskan urusan keluarganya. Suatu ketika dia pernah berkata pada isterinya, Fatimah,"Demi ALLAH aku selalu menimba air dari sumur hingga dadaku terasa sakit." Lalu Fatimah menimpali,"Dan aku demi ALLAH memutar penggilingan hingga tanganku melepuh." Dari dialog suami isteri itu dapat saya simpulkan bahwa peran ganda pria dan wanita telah membudaya dalam kehidupan masyarakat yang dibina Nabi, jauh sebelum masyarakat modern mempropagandakannya akhir-akhir ini.
Betapa pasangan Ali dan Fatimah telah membangun keluarganya dengan CINTA. Cinta dalam makna saling menolong, saling mengasihi, saling memberi dan saling menyayangi.
Menangkap hikmah dari keluarga Rasulullah, aspek manajemen yang diterapkan Rasulullah dalam bergaul dengan para isterinya.
Dalam hal ini, Rasulullah telah memberikan uswah yang bervariasi mengenai tata cara menghadapi wanita, dengan kompleksitas perwatakannya.
Kadangkala saya menemui isteri saya sebagai seorang wanita penyayang dan penuh pengertian, maka saya tiru sikap Rasulullah ketika menghadapi Khadijah. Adakalanya saya jumpai isteri saya dengan sifat manja dan kekanak-kanakan, maka sayapun merujuk tata cara Rasulullah saat menghadapi Aisyah.
Di lain waktu, saya temukan isteri saya menjadi perempuan matang dan tegas, lalu saya pun berupaya mengimbanginya dengan memakai kiat dari Rasulullah saat menghadapi Ummu Salamah. Dan ketika isteri saya tiba-tiba berubah menjadi wanita yang cerdas, tapi keras kepala, ternyata saya tak kehabisan akal. Saya meniru bagaimana sikap Rasulullah saat menghadapi Hafsah.
Karena itulah, saya tidak heran manakala suatu ketika seorang teman mengeluh pada saya mengenai beratnya membangun keluarga di masa-masa awal dalam perkawinan. BIla membina rumah tangga itu enteng, mungkin Rasulullah tidak perlu bersabda, "Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (Menguasai) separuh agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada ALLAH dalam memelihara yang separuhnya lagi." (HR Al Hakim dan AThthahawi). Begitulah jawaban saya, dalam hati.
Diambil dari majalah Ummi, Fahrudin Ali Prabowo
Kiriman : Sta@y......
------------------------------------------------------------------------
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya. Siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (Q.S. An Nuur 24:35).
"Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu ungkapan tentang Islam, yang saya tidak memintanya kepada siapapun kecuali kepadamu." Rasulullah saw bersabda,
"Katakanlah, 'Aku beriman kepada Allah,' kemudian Istiqamahlah." (H.R. Muslim)
-----------------------------------------------------------------------
Wallahu'alam bish showab
No comments:
Post a Comment